Sabtu, 10 Januari 2009

Islam dan Kesenjangan Sosial

Jika kita perhatikan bangsa ini secara lebih mendalam, sesungguhnya tidaklah terlalu miskin dan tertinggal bilamana dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain. Para pengamatlah yang seringkali memberikan hasil analisisnya secara berlebihan. Bangsa ini seringkali dikatakan sebagai bangsa tertinggal, memiliki SDM yang lemah, terpuruk, miskin dan sebutan-sebutan lain yang kurang menguntungkan. Mungkin dengan menunjukkan hasil analisisnya itu, menganggapnya sebagai cara yang tepat. Dengan kesimpulannya itu dimaksudkan agar segera tumbuh kesadaran sehingga lahir semangat bangkit untuk maju.

Memang, bisa jadi dengan mengungkap kelemahan itu, orang bisa sadar akan posisinya. Tetapi sesungguhnya juga tidak menutup kemungkinan, ungkapan tentang kelemahan-kelemahan itu justru akan melahirkan mindset atau citra diri bahwasanya bangsa ini memang tertinggal, lambat dan tidak maju. Dengan ungkapan negatif seperti itu, akan mengakibatkan sulit membangun kepercayaan diri, kebanggaan, memiliki perasaan sama dengan bangsa lain dan bahkan juga rasa syukur sebagai bangsa Indonesia. Keberhasilan membangun jiwa besar adalah sebagai modal untuk meraih kemajua. Bangsa ini harus bangga menjadi dirinya sendiri. Jiwa bangsa ini harus ditumbuhkan sebagai bangsa Indonesia, dan bukan menjadi bangsa lain. Seluruh bangsa Indonesia harus cinta tanah airnya dan atas dasar kecintaan itu akan melahirkan jiwa berjuang dan berkurban untuk negeri yang dicintainya.



Jika dikatakan bahwa di antara rakyat Indonesia masih ada yang miskin, memang benar. Tetapi kemiskinan itu tidak diderita oleh seluruh bangsa ini. Jumlah mereka yang masih miskin relatif banyak, tentu tidak bisa diingkari. Tetapi sesungguhnya di tengah-tengah yang miskin itu, terdapat pula mereka yang sudah berhasil mengembangkan diri, dan bahkan meraih kekayaan yang luar biasa. Lihat saja di kota-kota besar, terdapat rumah-rumah mewah. Bangunan-bangunan kantor berukuran besar, hotel-hotel yang sulit dihitung karena jumlahnya yang sedemikian banyak, kendaraan mewah berkeliaran di jalan-jalan raya, fasilitas pendidikan, perbankan di mana-mana. Tetapi memang, di tengah-tengah kemewahan itu, masih terdapat rumah-rumah sederhana, bahkan tidak layak huni. Rumah-rumah atau tempat tinggal yang kurang manusiawi itu masih terdapat di mana-mana. Jika kita sempat ke kota besar sekalipun, di sela-sela rumah mewah, masih mudah disaksikan rumah-rumah kumuh di pinggir jalan, pinggir sungai, di bawah jembatan dan seterusnya. Demikian juga di tengah-tengah bangunan kampus perguruan tinggi yang megah, ternyata masih terdapat warga negara yang tidak mampu menyentuh lembaga pendidikan, sehingga mereka belum mengenal huruf-huruf sebagai alat komunikasi.

Maka yang terjadi di tanah air ini sesungguhnya adalah kesenjangan. Yaitu kesenjangan yang sedemikian jauh, antara mereka yang berhasil mengembangkan kehidupannya dengan mereka yang masih belum menemukan pintu kemajuan itu. Bangsa ini setelah merdeka, baru bisa berhasil mengantarkan sebagian warganya meraih sukses baik dalam pengembangan ilmu pengetahuan, ekonomi, politik, sosial dan lainnya. Sebaliknya, masih terdapat sebagian yang mengalami ketertinggalan. Keadaan seperti itu melahirkan kesenjangan sosial yang luar biasa. Sebagian telah maju dan sebagian lainnya tertinggal. Ketertinggalan itu disebabkan oleh banyak hal, di antaranya misalnya karena tidak memiliki akses yang cukup, atau belum menemukan pintu-pintu pengembangan ekonomi karena lemahnya jaringan sosial yang dimiliki, dan yang lebih nyata kesenjangan itu disebabkan oleh sentuhan pendidikan yang tidak merata. Umumnya mereka yang tertinggal itu adalah orang-orang yang tidak mendapatkan pendidikan secara cukup. Oleh karena itu, kesenjangan ekonomi tersebut memiliki korelasi posisitif dengan kesenjangan pendidikan. Mereka yang miskin secara ekonomi biasanya juga miskin dalam ilmu pengetahuan dan ketrampilan.

Kesenjangan sosial dalam sejarah kemanusiaan bukanlah hal baru. Dari zaman ke zaman keadaan itu selalu terjadi. Adalah ajaran Islam memberikan tuntunan untuk keluar dari keadaan yang tidak menyenangkan itu. Secara ekonomis, untuk mendekatkan antara yang berlebih dengan yang kekurangan, Islam memiliki konsep yaitu apa yang disebut dengan kewajiban membayar zakat, infaq, dan shodaqoh. Setiap orang yang memiliki penghasilan sejumlah tertentu diwajibkan untuk membayar zakat. Setiap kali terdapat perintah sholat selalu segera diikuti perintah untuk berinfaq. Harta hasil infaq harus disalurkan kepada orang yang perlu ditolong seperti faqir, miskin, ghorim, hamba sahaya mu’alaf dan lain-lain. Perintah berinfaq dari harta yang dimiliki diikuti dengan jumlah besarnya harta yang harus dikeluarkan. Misalnya setiap jenis pendapatan, besar zakatnya adalah antara 2,5 % hingga 12.5 % . Islam mengajarkan kewajiban untuk berbagi di antara sesama. Namun sebaliknya, Islam tidak perah mendorong agar oang-orang yang tertinggal, yakni fakir dan miskin tetap memperkukuh posisinya sebagai orang miskin. Hadits Nabi justru mencela orang yang dalam mencukupi kebutuhannya tidak mau berusaha, dan hanya ditempuh dengan cara meminta-minta. Pekerjaan menggantungkan diri pada orang lain, dan selalu meinta-minta dikecam oleh ajaran Islam. Sebagai seorang yang beriman dan muslim harus beramal dan bekerja memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Ditegaskan misalnya, setelah selesai sholat jum’at, para jama’ah dianjurkan bertebaran untuk mencari rizki guna memenuhi kebutuhan hidupnya.

Islam tidak pernah menempatkan orang yang sekedar tertinggal di bidang ekonomi sebagai orang nista dan dipandang rendah. Tinggi rendahnya derajad seseorang bukan diukur dari pangkat, jabatan, tingkat eknomi mereka, melainkan didasarkan atas iman, ilmu dan ketaqwaan. Menurut Islam orang miskin tidak selalu berada pada posisi rendah, sekalipun Islam juga mendorong agar orang mengembangkan kekuatan ekonominya. Dalam hal ini kemiskinan tidak selalu dilihat sebagai kenistaan seseorang. Islam juga tidak melihat seseorang hanya sebatas dari keadaan penampilannya, misalnya dari baju yang dipakai atau simbul-simbul luar, tetapi Islam akan melihat prestasi kerja seseorang-----amal sholeh, dan kekuatan dan keindahan akhlaknya.

Islam mengajarkan agar selalu membangun silaturrahmi, mencintai sesama, saling menghargai dan selanjutnya saling tolong menolong dalam kebaikan. Hadits Nabi mendorong agar umatnya saling menjalin tali silaturrahim. Dikatakan bahwa siapa saja yang ingin dibanyakkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya, maka agar supaya selalu menjalin hubungan silaturrahim. Demikian juga agar sesama muslim saling mencintai. Dalam hadits nabi dikatakan bahwa tidak sempurna iman seseorang hingga ia mau mencintai saudaranya sesama muslim sebagaimana mencintgai dirinya sendiri. Hadits tersebut memberikan tuntunan bahwa seseorang disebut sebagai beriman manakala ada kesediaan mencintai sesamanya. Konsekuensi mencintai adalah kesediaan untuk memberikan pengorbanan. Sehingga, seseorang dikatakan baru beriman manakala ada kesediaan melakukan pengorbanan demi untuk saudaranya. La yu’minu ahadukum hatta yuhibba li akhihi ma yuhibbu linafsihi. Islam juga mengajarkan tolong menolong dalam kebaikan dan atas dasar taqwa. Tetapi Islam melarang tolong menolong itu dilakukan dalam melakukan kejelekan dan keburukan. Lebih dari itu, Islam mengajarkan selalu berjama’ah. Pelaksanaan kegiatan ritual kepada Allah, sholat lima waktu misalnya diutamakan berjama’ah dan menurut tuntunan Rasulullah, dilakukan di masjid. Sholat berjama’ah di masjid nilai pahalanya dilipatgandakan sampai 27 kali dibanding sholat sendirian.

Terkait dengan konsep jama’ah, termasuk dalam menunaikan sholat berjama’ah sehari-hari, adalah sesuatu yang sangat diutamakan oleh Islam. Bisa dibayangkan sedemikian indahnya ajaran Islam, jika perintah itu benar-benar ditunaikan dalam kehidupan. Contoh sederhana, misalnya sebuah komunitas muslim yang di sana terdapat fasilitas masjid. Umpama seluruh warganya setiap pagi dan petang berjama’ah semua, kecuali yang udzur karena alasan tertentu. Setiap sholat subuh komunitas muslim itu misalnya berjama’ah. Mereka pada pagi-pagi buta, sudah bangun dari tidur, bersama isteri dan anak-anaknya mengambil air wudhu dan segera menuju ke masjid memenuhi panggilan adzan. Di tempat ibadah itu, dengan media sholat berjama’ah, mereka pagi-pagi sudah bertemu satu sama lain dengan warga jama’ah masjid. Mereka bersama-sama di pagi itu, dengan dipimpin oleh seorang imam menghadap Allah, melakukan sholat subuh berjama’ah.

Seluruh kaum muslimin ketika itu, di pagi hari sebelum mengucapkan kalimat-kalimat lain, bersama-sama mensucikan asma Allah, bertahmid dan bertakbir mengagungkan asma Allah. Dalam kesempatan itu, mereka bertemu, bersillaturrahim dan saling menyapa dan mengetahui keadaan masing-masing. Kegiatan rutin seperti ini, akan melahirkan kesamaan dan kebersamaan yang kemudian juga terjad saling mengetahui, memahami, menghargai dan kemudian saling menolong dan membantu. Bukankah ini adalah gambaran yang amat indah dari sebuah kehidupan yang diajarkan oleh Islam melalui Rasul-Nya Muhammad saw. Ajaran Islam seperti ini semestinya dilakukan bukan pada saat-saat tertentu sebatas musiman, misalnya hanya pada setiap bulan Ramadhan, melainkan dilakukan sepanjang masa secara istiqomah. Inilah bangunan sosial yang ditawarkan oleh ajaran Islam yang sedemikian mulia dan indah. Itulah bukti kebenaran apa yang dikatakan oleh Allah bahwa manakala penduduk negeri beriman dan bertaqwa maka akan dibukakan pintu berkah dari langit dan dari bumi. Akhirnya dengan begitu kesenjangan sosial pun akan hilang dengan sendirinya. Allahu a’lam.

Prof. DR. H. Imam Suprayogo
Read More… Read More… Read More…

0 komentar: