Sabtu, 10 Januari 2009

Remaja Beramal, Orangtua yang Keberatan



BERBAGAI macam masalah sosial yang terjadi di sejumlah tempat di wilayah Bali setidaknya bisa menggugah rasa keprihatinan kita. Misalnya, kelaparan yang melanda krama kita di Nusa Penida akibat kemarau berkepanjangan. Pascapeledakan bom di Legian, Kuta, Sabtu (12/10) lalu. Berbagai penyakit kronis muncul dan melilit sejumlah anak yang notabene berada pada garis kemiskinan, sudah tentunya sangat memerlukan uluran tangan kita. Bagaimana reaksi generasi muda kita terhadap penomena ini?

Untuk waktu sekarang sebagian besar remaja (pelajar) boleh dibilang sudah makin terketuk dan tergugah dalam menyikapi masalah sosial yang makin banyak melanda masyarakat, khususnya di Bali ini. Berbagai kegiatan telah mereka lakukan. Seperti mengadakan kunjungan sosial ke panti asuhan (PA), penyaluran bantuan kepada warga yang dilanda kelaparan di Nusa Penida dan aksi sosial lainnya. NM Trisna Susanti, S.Psi. mengungkapkan hal tersebut dalam dialog interaktif yang digelar Wiyata Mandala bekerja sama dengan Radio Global FM 99,15 Kini Jani, Sabtu (12/10) lalu. Hadir dalam acara interaktif yang mengangkat tema ''Menggugah Generasi Muda Menyikapi Masalah Sosial Itu'', Drs. Ketut Loper Winartha (Wakasek Kesiswaan SMU 1 Denpasar), I Wayan Nika (Ketua Yayasan PA Dharma Jati), Manik Asti dan Pasek Warga Antara (siswa SMU Dharma Praja), Citra Aditya, Anisa Ramadhani, Eka Prasetyo Pengelela (siswa SLTPN 1 Denpasar) dan Edi Yasa, Messo Deina (SMUK Harapan).

Ditegaskan kembali oleh Susanti, ketertarikan remaja (pelajar) menyikapi masalah sosial kemasyarakatan seperti ini juga dapat menimbulkan rasa empati mereka. Karena itu, proses belajar itu tidak hanya pada lingkungan di sekolah saja dengan materi pelajaran yang sudah terpatok. Dengan menyikapi lingkungan sekitar kita sudah dapat memperoleh ilmu. Senada dengan Susanti, Drs. Ketut Loper Winarta mengungkapkan, peran generasi muda dalam menyikapi masalah sosial sudah cukup nampak. ''Khususnya lagi pada pelajar, kegiatan aksi sosial banyak yang mereka ikuti,'' kata Loper dengan mengambil contoh sendiri anak didiknya di SMU 1 Denpasar. Karena itu, sambungnya, dari kegiatan sosial ini tidak hanya bertujuan menggugah hati nurani, juga mendalami pendidikan budi pekerti secara tidak langsung.



Benarkah remaja sudah mengambil sikap demikian? Citra Aditya, siswi SLTPN 1 Denpasar mengatakan, tampaknya belum sepenuhnya benar. Soalnya, kata dia, remaja sekarang cenderung ingin menunjukkan kehebatannya dengan rekan yang lain seperti bagus-bagusan sepatu dan sebagainya. Namun, kalau diajak ke masalah sosial masih banyak yang pikir-pikir. Ia setuju siswa dan remaja diajarkan saling membantu keluarga tak mampu.

Ketua Yayasan Panti Asuhan Dharma Jati I Wayan Nika sangat mengharapkan akan makin tergugahnya hati para generasi muda dalam menyikapi masalah sosial. Sebagaimana disebutkan Nika, dari yayasan yang dipimpinnya sekarang ini sangatlah mengharapkan bantuan dan uluran tangan dari masyarakat untuk kelangsungan hidup anak-anak yatim yang kini sudah hampir mencapai 100 orang itu. ''Apa pun bantuan yang nantinya diserahkan dari masyarakat kami dari yayasan sangat berterima kasih,'' ungkap Nika.

Dari segi jumlah, ia menilai peran serta remaja dan masyarakat Hindu di Bali masih kurang dibandingkan dengan umat yang lain. Penyebabnya, barangkali karena umat Hindu banyak disibukkan dengan adat dan upacara agama.

Sementara Gung Derah, Pak Alit dan Pawangsa yang ikut urun rembuk pada interaktif tersebut mengatakan tak setuju siswa dilibatkan dalam kegiatan aksi sosial seperti pengumpulan sumbangan, lebih-lebih diperuntukkan bagi pelajar yang notabene tidak berpenghasilan. Menurut mereka, ada unsur dipaksa oleh gurunya. Ia justru mengeluh sebagai orangtua siswa karena sumbangan macam begini akan menjadi beban bagi orangtua siswa.

Namun, hal itu dibantah oleh Susanti. Menurut Susanti, sikap orangtua hendaknya tidaklah demikian. Malah sebaliknya, orangtualah diharapkan bisa menuntun anaknya untuk melakukan kegiatan-kegiatan amal. ''Janganlah dilihat dari besar kecilnya nilai sumbangan yang kita salurkan. Namun yang terpenting adalah rasa keikhlasan kita,'' tegas Susanti. Bahkan, ditambahkan Ketut Loper, keikutsertaan dalam kegiatan sosial seperti ini juga adalah sebuah bentuk yadnya.

Mengomentari masalah ini, Tut De Pasek Warga Antara dari SMU Dharma Praja menjelaskan, tak semua orangtua siswa yang keberatan anaknya minta uang untuk membantu sesama. Ia mengatakan, harusnya siswa yang mampu meyakinkan orangtuanya untuk mau menyisihkan sebagian penghasilan bagi orang yang memerlukan.

Secara benar

Penelepon lainnya seperti Vijay, Tatik, Pak Dewa lebih menyarankan agar sumbangan-sumbangan dari siswa tersebut agar disalurkan secara benar. Tatik mengungkapkan, banyak memiliki buku-buku pelajaran yang tak terpakai, namun tak tahu bagaimana caranya menyalurkan ke panti asuhan. Sementara Dewa mengungkapkan, pemahaman kehidupan beragama masih dianggap selesai sembahyang sudah usai. Padahal mereka juga harus ikut dalam amal. Dalam ajaran agama mana pun, kata dia, umatnya diajarkan untuk menyisihkan sedekah, ber-yadnya dan mapunia kepada yang tidak mampu. Jika ini tak dilakukan, kekayaan itu akan sia-sia. Makanya ia berpendapat anak-anak perlu dituntun beramal sejak ia remaja. * Sueca
=================================

Membangkitkan Sikap Empati
SEMUA orang sejak lahir sudah dibekali rasa empati yakni sikap merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain. Sikap itu tak akan tumbuh alias terpendam jika tak pernah dibangkitkan. Tinggal orangtua di rumah dan guru di sekolah mengembangkannya ke arah yang positif dan bermanfaat bagi anak itu sendiri dan lingkungan sosialnya. Terutama agar mereka memiliki kepekaan dan kepedulian terhadap masalah-masalah sosial dan kemasyarakatan yang ada di sekitarnya. Apalagi, akhir-akhir ini begitu banyaknya masalah sosial yang muncul.

Pengamat psikologi dari Yayasan Adhi Mekar Indonesia (AMI) Ni Made Trisna Susanti, S.Psi. menjelaskan, kepekaan sosial penting bagi manusia untuk menggalang kebersamaan. Seperti membantu mengevakuasi korban ledakan bom di Kuta, saat terjadi bencana alam dan sebagainya. Termasuk membantu mereka yang memerlukan uluran tangan. Berbagai cara dapat dilakukan mulai dari hal-hal yang kecil. ''Membangkitkan sikap empati ini sangat perlu sejak masa anak-anak,'' ujarnya.

Untuk memupuk rasa sosial ini di sekolah sudah diberikan berbagai ekstrakurikuler seperti PMR, Pramuka, PMI, kelompok pecinta alam dan sebagainya. Ini artinya, mereka sudah didekatkan dengan kondisi lingkungannya sejak kecil. Ia menilai tumbuhnya kepekaan sosial di kalangan anak-anak maupun remaja, itu sepenuhnya tergantung dari lingkungan terdekatnya. Mulai dari lingkungan keluarga, sekolah hingga di mana mereka berada.

''Kami mengenalkan kepada siswa banyaknya masalah sosial yang dihadapi teman-teman sebayanya. Di antaranya korban putus sekolah lantaran terbentur biaya, terpaksa bekerja di bawah umur dan sebagainya,'' ujar Mbak Trisna. Alumnus Fakultas Psikologi Muhamadiyah Malang tahun 1984 ini menyoroti, tak sedikit orangtua yang memiliki ambisi berlebihan. Terbukti mereka memperkosa hak-hak anak, yang sangat diperlukan untuk mendukung aspek sosial siswa. Terutama waktu bermain anak dan bersosialisasi dengan lingkungan. Sebab, jika anak hanya dipacu dengan tujuan semata-mata mengejar prestasi dalam bidang akademis, akan berdampak buruk pada perkembangan sosial anak. Salah satunya akan menghambat proses komunikasi antarmereka dalam lingkungan sosialnya. * Sueca
Read More… Read More… Read More…

0 komentar: